The Day the Music Died
Hari Ketika Musik Mati
Charles
Hardin Holley, atau Buddy Holly, salah satu legenda dan perintis musik
rock. Ia dilahirkan 3 Februari 1936 di Lubbock, Texas, bermain band
sejak usia 13 tahun. Kemudian ia membentuk kelompoknya bernama The
Crickets, meluncurkan lagu seperti “That’ll be the day” dan “Oh Boy !”
yang direkam oleh Decca Record.
Lagu terkenalnya yang lain
termasuk "Maybe Baby”, dan solo hitnya "Peggy Sue" yang terkenal.
Tanggal 3 Februari 1959, Buddy Holly bersama rekannya Ritchie Valens,
The Big Bopper, dan pilot yang menerbangkan pesawat bertempat duduk
empat orang itu, mengalami kecelakaan fatal. Pesawat mereka jatuh
sesudah lepas landas dari bandara dekat Mason City, Iowa.
Tragedi kematian Buddy Holly itu kemudian telah mengilhami penyanyi Don McLean untuk menulis lirik, “Something touch me deep inside / The day the music died”, yang ia abadikan dalam lagu “American Pie” (1972) yang terkenal.
The Day Italian Football Died
Hari Ketika Sepakbola Italia Mati
Tanggal
4 Mei 1949, jam 5 sore, sebuah pesawat terbang Fiat yang berpenumpang
31 orang telah menabrak gunung Superga yang terletak di luar kota
Turin, Italia. Sebagian besar penumpangnya adalah anggota tim klub
sepakbola Torino. Berjulukkan The Grande Torino, Torino Agung,
karena tim hebat ini sebelumnya telah memenangkan tiga kali juara di
Serie A dan berpeluang untuk merebut juara keempat kalinya. Mereka juga
mendominasi tim nasional Italia, karena sembilan anggota skuad Torino
ini bergabung di dalamnya.
Kekuatan dominan sepakbola Italia,
hari itu, tiba-tiba terenggut begitu saja. Tragedi ini tidak ada
bandingnya dalam sejarah olahraga, dan tetap meninggalkan luka dalam
hingga kini. Berbeda dengan tragedi jatuhnya pesawat terbang yang
menewaskan skuad Manchester United di Munich, klub sepakbola Torino
nampak sulit bangkit meninggalkan bayang-bayang tragedi masa lalunya
ini.
Lima puluh tahun kemudian, penulis Alexandra Manna dan
Mike Gibbs menuliskan kembali kisah tragedi tersebut dan pengaruhnya
sampai kini dalam buku mereka, The Day Italian Football Died : Torino
and the Tragedy of Superga (2000).
The Day Indonesian Football Died
Hari Ketika Sepakbola Indonesia Mati
Itulah judul tulisan yang saya posting di mailing-list
ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia), 25 Februari 2002. Judul
itu muncul di kepala ketika membaca posting Sigit Nugroho, Ketua ASSI,
mengenai tragedi kematian Beri Mardias (saat itu baru dikenal sebagai
Berry Padang, karena ia suporter tim Semen Padang) yang tewas
dikeroyok kelompok suporter lawannya di seputar Senayan, Jakarta. Ia
yang kelahiran Padang 11 Desember 1979, lulusan SMP, berdomisili di Gang
Penghulu, Jatiwaringin, Pondok Gede Bekasi itu, meninggal dalam usia
23 tahun.
Adalah seorang Jock Stein, pelatih legendaris Glasgow
Celtic, pernah bilang bahwa sepakbola tanpa suporter hanyalah omong
kosong. Terinspirasi ucapan Stein, lirik puitis lagu “American Pie”-nya
Don McLean yang menjadi favorit sejak tahun 1972, juga judul bukunya
Alexandra Manna dan Mike Gibbs, kemudian mendorong saya spontan
menulis untuk di-posting dalam milis ASSI : “Saya merasa,
terbunuhnya seorang suporter kesebelasan di Indonesia adalah sama dengan
tewasnya sepakbola Indonesia”.
Tetapi hari sepakbola Indonesia
mati tidak hanya terjadi saat seorang suporter bernama Beri Mardias
mati. Juga saat Suhermansyah, suporter Persebaya, yang tewas
terinjak-injak massa saat laga PSIM vs Persebaya di Stadion Mandala
Krida Yogyakarta, Februari 1995. Atau ketika enam orang suporter PSIS
tewas tertabrak KRL dan 12 orang lainnya cedera, di Lenteng Agung
Jakarta, April 1999.
Kemudian peristiwa Mei 2001, seorang
suporter PSIS tewas dihakimi massa setelah puluhan suporter PSIS
melakukan penjarahan di Stasiun Manggarai Jakarta, usai mendukung timnya
di Bogor. Memang belum ada catatan sejarah mengenai kecelakaan pesawat
terbang yang menimpa tim sepakbola Indonesia sebagaimana bencana yang
merenggut nyawa Buddy Holly atau pun tim Torino, Italia.
Tetapi
di tengah berkobarnya eforia Piala Dunia 2002 di Korea dan Jepang (31
Mei – 30 Juni 2002), yang sesama bangsa Asia, rasa ingin tahu mengenai
posisi Indonesia di tengah percaturan sepakbola dunia, berakhir dengan
jawaban betapa kematian yang lebih dalam serasa menyelimuti sepakbola
Indonesia.
Saat itu, dengan yakin, telah saya masukkan kata kunci “Indonesia football” pada fasilitas penelusur (search engine)
dalam situs FIFAworldcup.com, situs resmi Piala Dunia 2002. Jawabannya
mengagetkan. Sekaligus mengecewakan. Mirip tamparan. Sebab jawaban yang
muncul secepat kilat itu hanyalah penolakan otomatis dari situs
bersangkutan. Isinya ringkas. Telak. Menyatakan bahwa tidak ada satu
pun informasi yang dikandungnya mencocoki dengan subjek yang saya
ajukan.
Aroma kematian sepakbola Indonesia terasa begitu
merujit-rujit hati saat itu, ketika mendapati realita betapa media
sepakbola berskala global tidak mempunyai sesuatu cerita apa pun
tentang sepakbola Indonesia.
Karena penasaran, saya ngotot
memasukkan kata kunci yang sama pada mesin penelusur umum yang lebih
terkenal, Google. Jawaban yang berupa anotasi-anotasi, kali ini muncul.
Tetapi yang agak signifikan, sekaligus paling gres, subjek informasi
dari salah satu anotasi itu justru mengenai peristiwa bentrokan parah
dan berdarah antarkelompok suporter sepakbola Indonesia.
Dalam
hal ini antara Viking (Bandung) vs The Jakmania (Jakarta) seusai
bersama Aremania (Malang), Pasoepati (Solo) dan regu ASSI (saya ikut di
dalamnya), bergairah mengikuti kuis Siapa Berani ? di televisi
Indosiar, 12 Maret 2002.
Saya masih ingat, atas ide brilyan
Aremania, menjadikan kuis ini nuansanya berbeda dibanding hari-hari
lainnya. Sungguh mengharukan dan membanggakan, tetapi buntutnya justru
ironi, karena semua para peserta kuis yang suporter Indonesia itu
sebelumnya nampak kompak bersamaan menyanyikan lagu heroik, “Padamu
Negeri”.
Anotasi hasil penelusuran Google lainnya, kemudian,
bahkan tidak terduga memunculkan nama Mursyid Effendi dalam kaitannya
dengan sepakbola Indonesia. Tetapi artikel tersebut sebenarnya tidak
membahas khusus sepakbola Indonesia. Melainkan mengenai tim Thailand,
calon superpower sepakbola Asia.
Artikel yang ditulis
oleh Mike Lee, Desember 2001, di situs www.footballculture.net,
menceritakan kebangkitan tim Thailand yang dilatih Peter Withe, asal
Inggris, setelah reputasi tim nasionalnya tercoreng saat berlangsungnya
perempat-final Piala Tiger 1998, di Hanoi, Vietnam. Peristiwa aib yang
sama sekaligus melibatkan tim nasional Indonesia !
Peristiwa
hitam itu terjadi ketika tim Thailand yang melawan Indonesia, yang
sama sekali tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu
sportivitas, dengan justru berusaha mati-matian agar tim mereka
memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya, agar mereka
terhindar untuk bertemu dengan tuan rumah di semi-final.
Saat
skor menunjukkan 2-2 pada masa perpanjangan waktu, pemain Indonesia,
Mursyid Effendi, sukses menembak ke arah gawangnya sendiri. Kiper
Indonesia saat itu tidak berusaha menepis. Tetapi justru banyak para
pemain Thailand yang berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar
tidak kebobolan
Skandal Mursyid Effendi, yang ternyata
skenarionya dirancang masak oleh fihak manajer tim dan jajaran PSSI,
sekarang menjadi batu nisan abadi, penanda hitam suatu hari tewasnya
sepakbola Indonesia.
Persis sama dengan tragedi kematian
sepakbola Indonesia yang bersumber dari motif kerdil, yang pekat
melatarbelakangi preseden “sepakbola gajah” tahun 1988 di tanah air.
Dalam pertandingan terakhir putaran kedua kompetisi Divisi Utama
Perserikatan PSSI Wilayah Timur, 21 Februari 1988, tuan rumah Persebaya
dibantai oleh Persipura, 0 – 12.
Kekalahan busuk penuh rekayasa
ini merupakan balas dendam tak langsung Persebaya atas PSIS Semarang,
sehingga juara bertahan 1986/1987 tersebut tidak dapat lolos untuk
berlaga di putaran final di Senayan.
Fast Forward 2003.
Hari-hari sepakbola Indonesia kembali mati. Pada bulan Juni 2003,
dalam daftar peringkat yang dikeluarkan resmi oleh FIFA, Indonesia
menduduki peringkat 89 di antara 204 negara di dunia. Di atasnya
terdapat Thailand pada peringkat 65, Cina di nomor 68, dan jangan coba
bandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan yang sudah kelas dunia.
Keduanya sama-sama nangkring anggun di peringkat 24.
Tetapi
peringkat itu bagi Indonesia sama sekali tidak ada artinya dalam
kenyataan. Bahkan merupakan anomali dan menerbitkan ironi. Mari kita
jajarkan bukti.
Timnas U-23 Pra-Olimpiade Athena kita digusur
tim lemah Lebanon dengan agregat 2-5, bulan Juni 2003. Padahal Lebanon
hanya berperingkat 121. Lalu timnas U-18 kita juga gagal dalam
turnamen ASEAN Football Federation (AFF) 2003 di Ho Chi Minh City,
Vietnam. Timnas kita hanya mampu menang 1-0 atas Kamboja (peringkat
170) dan Filipina (184), tetapi dibantai 0-3 oleh tuan rumah Vietnam
yang sebenarnya dalam daftar FIFA berada pada peringkat yang lebih
rendah (95).
Ironi terbaru meledak pada Kejuaraan Sepakbola
Liga Champions ASEAN LG Cup 2003, Juli 2003, di mana Indonesia menjadi
tuan rumah. Wakil Indonesia, Persita Tangerang dan Petrokimia Putra,
disingkirkan oleh satu tim yang sama, Kingfisher East Bengal (India)
dengan 1-2 dan 7-8 pada perempat final dan semifinal. Dari tayangan
televisi nampak kedua tim wakil Indonesia itu benar-benar kalah kelas,
juga kalah cerdas, walau India dalam peringkat FIFA sesungguhnya berada
pada nomor 129. Atau 40 tingkat di bawah Indonesia !
Kesebelasan
wakil-wakil Indonesia berguguran, digusur habis oleh tim-tim asal
negara yang dalam peringkat FIFA justru berada di bawah kita. Mengapa
hal buruk itu terjadi ? Seperti halnya tipikal orang Indonesia yang
konon paling pintar mencari kejelekan dan kekurangan fihak lain, saya
sempat tergoda untuk menghujat : apakah FIFA begitu goblog dalam
menentukan peringkat Indonesia yang senyatanya ? Siapa yang tahu.
Mungkin
kita harus mencari jawab dengan melihat indikator lain, di luar
sepakbola, untuk dapat melihat bopeng diri kita sendiri. Lihat, data
terbaru keluaran UNDP (Program Pembangunan PBB) mengenai peringkat
pembangunan manusia 2003. Terkuak bahwa Indeks Pembangunan Indonesia
berada pada nomor 112 dari 175 negara. Di Asia Tenggara, Indonesia
terpuruk di bawah Thailand (74), Filipina (85) dan Vietnam (109), walau
masih di atas Kamboja (130) atau pun Myanmar (131).
Akar dari
seluruh carut-marut bobroknya prestasi sepakbola dan pembangunan
manusia Indonesia, tidak lain adalah akibat meruyaknya korupsi.
Menjelang Piala Dunia 1998, Sekjen Asian Football Confederation (AFC),
Peter Velappan, sempat mengenang kejayaan tim-tim sepakbola Asia
Tenggara.
Bahkan ia sebutkan, Indonesia yang memakai bendera
Dutch East Indies saat itu, adalah tim Asia pertama yang berlaga di
Piala Dunia 1938. “Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi
mampu menaklukkan tim Asia Tenggara”, katanya. Tetapi kini, sepakbola
Asia Tenggara hanya memble, underachiever, prestasinya, karena korupsi dan pengelolaan yang tidak kompeten.
Padahal,
“Indonesia adalah Brasil-nya Asia”, tegasnya. “Pemain-pemain Indonesia
bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tiada sama di dunia.
Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang, tetapi
mereka dan organisasi sepakbolanya tidak mempunyai tekad bulat dalam
memerangi korupsi yang membelitnya”.
Revolusi PSSI 2011.
Hari-hari ini Ibu Pertiwi, tanah air Indonesia, memanggil putra-putri
terbaiknya untuk saling bergandeng tangan. Untuk meneguhkan semangat dan
karya guna menyelamatkan masa depan sepakbola Indonesia. Berusaha membangkitkannya kembali. Dengan merebutnya dari kangkangan rejim otoriter, yaitu penguasa PSSI yang dikenal sebagai tokoh yang korup, Nurdin Halid, beserta kroni-kroninya.
“Tidak
diragukan lagi bahwa sekelompok pribadi yang cerdas, warga negara yang
peduli, yang mampu mengubah dunia, dan hanya itulah yang selama ini
terjadi,” demikian kata antropolog terkenal Margaret Mead (1901-1978).
Ucapan itu semoga memberi kita kekuatan dan keteladanan. Kita dapat berkaca dari kiprah anak-anak muda patriotis seperti Wael Ghonim dan Khaled Kamel
dengan akun Facebooknya telah mampu membuat sejarah. Mampu menyatukan
bangsa, sehingga menggulirkan revolusi untuk berhasil merobohkan
diktator yang telah lama bercokol di Mesir.
Ibu Pertiwi kini
memanggil putra-putri yang terbaik untuk bersatu, menyingsingkan lengan
baju, untuk tujuan yang sama. Menggalang kekuatan guna merobohkan rejim
korup dalam tubuh sepakbola Indonesia yang syahwatnya untuk berkuasa
sudah pada tahap yang tidak lagi bisa ditoleransi oleh akal sehat dan
rasa keadilan.
Selamat berjuang, saudara satu jiwa, suporter sepakbola Indonesia.
Agar sepakbola Indonesia segera bangkit kembali dari kematian yang panjang.
Kita dan Anda semua mampu membuat sejarah !
Casino Finder (Mapyro) - Best Real-time Gambling Company
BalasHapusFind casinos using Mapyro real time gambling 충청북도 출장안마 company statistics 시흥 출장마사지 and reviews. 부천 출장마사지 This interactive map shows which 제주도 출장안마 casinos operate 울산광역 출장마사지 in Illinois.